Laman

Rabu, 27 Juli 2011

DIRI SENDIRI

FILOSOFI HIDUP

Banyak dari kita tdk berminat melakukan hal yg tdk menyenangkan seperti yg lain. Tapi kita tak mampu melakukan hal yg kita impikan. Sayangilah apa yg kamu miliki dan jgn mengharapkan apa yg kamu tidak miliki. Ketika kamu adalah ikan, nikmatilah dirimu dgn berenang utk kepuasan hatimu, dan jgn berkhayal utk terbang. Bila kamu adalah burung, nikmatilah terbangmu utk kepuasan hati, jgn sekali mengkhayalkan utk menyelam.


LELUCON

Pelajaran Tokoh Penemu Bersejarah

Di suatu sekolah, pas jam pelajaran sejarah:

Bu Guru : "Yas, Ibu perhatiin kamu dari tadi ngantuk saja. Coba jawab pertanyaan ibu dulu. Siapa itu THOMAS ALFA EDISON??"
Ilyas : "Tidak tau, Bu!"
Bu Guru : "Nah bener kan.... Kalau JAMES WATT kamu tahu??"
Ilyas : "Apalagi sama dia... Tidak kenal aku, Bu!"
Bu Guru : "Kalau ALEXANDER GRAHAM BELL??"
Ilyas : "Aduh, Bu! Tidak kenal semua Bu!!"
Bu Guru : "Dasar tolol banget sih kamu. Itu, semuanya kamu tidak tau ??!!"
Ilyas : "Naahhh, coba Ibu saya tanya: Ibu tau tidak Pak ROHIM?"
Bu Guru : "Siapadia??"
Ilyas : "Kalau HAJI ABBAS?! USTADH UMAR?? KYAI SAMSURI?!"
Bu Guru : "Stop stop Yas... Siapa mereka itu??"
Ilyas : "Aku cuma mau ngasih tau Bu.. Tidak semua orang yang Ibu kenal, aku juga kenal... Orang yg aku kenal, Ibu juga tidak kenal.. Kita ini manusia bu, punya kenalan sendiri-sendiri!!"
Bu Guru : "???!!!"


TIPITAKA

Kisah Kapila dan Ikan

Pada masa Buddha Kasapa, ada seorang bhikkhu bernama Kapila yang sangat terpelajar dalam Kitab Suci (Pitaka). Karena sangat terpelajarnya, ia memperoleh kemasyuran dan keberuntungan. Ia juga menjadi sangat sombong dan memandang rendah bhikkhu-bhikkhu lain. Bila para bhikkhu lain menunjukkan padanya apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, ia selalu saja menjawab dengan pedas, “Berapa banyak yang kau tahu?” Hal itu menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak daripada bhikkhu-bhikkhu lain. Dengan demikian, lama kelamaan semua bhikkhu yang baik menjauhinya dan hanya bhikkhu-bhikkhu yang tidak baik berada di sekelilingnya.

Pada suatu hari Uposatha, ketika para bhikkhu mengulang ‘Peraturan Pokok’ bagi para bhikkhu (=Patimokkha), Kapila berkata, “Tidak ada apa yang dikatakan sebagai Sutta, Abidhamma, atau Vinaya. Tidak ada bedanya apakah kamu mempunyai kesempatan untuk mendengar Patimokkha atau tidak,” dan lain-lainnya. Kemudian ia meninggalkan para bhikkhu yang sedang berkumpul. Jadi, Kapila merupakan rintangan bagi pengembangan dan pertumbuhan Ajaran (Sasana).

Untuk perbuatan jahat ini, Kapila harus menderita di alam neraka (niraya) antara masa Buddha Kasapa dan Buddha Gotama. Setelah itu ia dilahirkan kembali sebagai seekor ikan di Sungai Aciravati. Ikan tersebut, seperti disebutkan di atas, mempunyai tubuh berwarna keemasan yang sangat indah, tetapi mulutnya berbau tidak enak yang sangat menusuk hidung.

Suatu hari, ikan tersebut ditangkap oleh beberapa nelayan dan karena sangat indah, mereka membawanya kepada Raja. Kemudian Raja membawa ikan tersebut kepada Sang Buddha. Ketika ikan itu membuka mulutnya, bau yang tidak enak dan sangat menusuk menyebar ke sekeliling. Raja bertanya kepada Sang Buddha, mengapa ikan seindah itu mempunyai bau yang sedemikian tidak enak dan menusuk hidung.

Kepada Raja dan para pengiringnya, Sang Buddha menjelaskan, “O Raja! Pada masa Buddha Kasapa, ada seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, yang mengajarkan Dhamma pada lainnya. Karena perbuatan baik itu, ketika ia dilahirkan kembali pada kehidupan yang lain, meskipun sebagai seekor ikan, ia memiliki tubuh keemasan. Tetapi bhikkhu itu sangat serakah, sombong, dan memandang rendah orang lain; ia juga mengabaikan Peraturan Ke-bhikkhu-an (Vinaya), dan mencaci maki para bhikkhu yang lain. Karena perbuatan buruk ini, ia dilahirkan di alam neraka (niraya), dan sekarang, ia menjadi seekor ikan yang indah dengan mulut yang berbau busuk.”

Sang Buddha kemudian beralih kepada ikan itu dan bertanya apakah ia mengetahui ke mana ia akan dilahirkan kembali pada kehidupan yang akan datang. Ikan tersebut memberi isyarat bahwa ia akan masuk kembali ke alam neraka (niraya) dan ia dipenuhi dengan perasaan sangat sedih. Sebagai mana diperkirakan, pada saat kematiannya, ikan tersebut dilahirkan kembali di alam neraka (niraya), untuk menerima akibat perbuatan buruk lain.

Semua yang hadir mendengarkan kisah ikan tersebut menjadi terkejut. Pada mereka, Sang Buddha memberikan khotbah tentang manfaat mengkombinasikan antara belajar dengan praktek.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 334, 335, 336, dan 337 berikut ini :

Bila seseorang hidup lengah,
maka nafsu keinginan tumbuh,
seperti tanaman Maluwa yang menjalar.
Ia melompat dari satu kehidupan
ke kehidupan yang lain,
bagaikan kera yang senang mencari
buah-buahan di dalam hutan.

Dalam dunia ini,
siapapun yang dikuasai oleh
nafsu keinginan rendah dan beracun,
penderitaannya akan bertambah
seperti rumput Birana yang tumbuh dengan cepat
karena disirami dengan baik.

Tetapi barang siapa dapat mengatasi nafsu keinginan
yang beracun dan sukar dikalahkan itu,
maka kesedihan akan berlalu dari dalam dirinya,
seperti air yang jatuh dari daun teratai.

Kuberitahukan hal ini kepadamu:
Semoga engkau sekalian yang telah datang
berkumpul di sini memperoleh kesejahteraan!
Bongkarlah nafsu keinginanmu,
seperti orang mencabut akar rumput Birana yang harum.
Jangan biarkan Mara
menghancurkan dirimu berulang kali,
seperti arus sungai menghancurkan rumput ilalang
yang tumbuh di tepi.


VEGETARIAN

Asal Usul & Sejarah Vegetarian: Dari Plutarch Hingga Counter-culture

Sepanjang sejarah, para pendukung vegetarian mengekspresikan kebencian mereka memakan daging binatang dengan melontarkan berbagai argumen moral dan spiritual.

Beberapa penulis jaman dulu seperti Ovid dan Plutarch menyesalkan pembunuhan makhluk yang tak bersalah untuk dijadikan makanan.

Plutarch mengatakan: “Saya pikir sungguh mengherankan, apa yang menyebabkan manusia ingin memakan daging bangkai atau apa motif dasarnya hingga bisa memiiki gagasan bahwa daging hewan bergizi untuk mereka.”

Filsuf Yunani, Pythagoras, yang hidup menjelang akhir abad ke-6 SM, berpendapat bahwa dengan memakan daging binatang maka jiwa manusia akan terkontaminasi dan menjadi liar. Itu sebab, hingga pertengahan abad ke-19, vegetarian dikenal sebagai Pythagoreans .

Penulis lain mengaitkan vegetarianisme dengan pencerahan spiritual. Seperti yang dikatakan oleh seorang vegetarian dari Inggris pada abad ke-17, Thomas Tryon, “… dengan pembersihan diri dari alam terestrial, akan membuka jendela indera ke dalam jiwa.” (Whorton, 1994).

Untuk alasan ini, berbagai agama, termasuk Brahmanisme, Buddhaisme, Hindu, dan Seventh Day Adventists menganjurkan para pengikut untuk berpantang makan daging.

Sementara para filsuf telah lama mengartikulasikan keuntungan moral dan spiritual dari cara hidup vegetarian. Melakuan gaya hidup vegetarian untuk alasan kesehatan baru dimulai pada abad ke-19.

Pada awal 1800-an mulai muncul bukti ilmiah dan medis tentang manfaat diet berbasis tumbuh-tumbuhan. Pada 1806, seorang dokter di London bernama William Lambe mengobati penyakit lamanya dengan berpantang makan daging

Tidak ada komentar:

Posting Komentar